TANGERANGRAYA.NET – Pemerintah berencana memungut pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah, sebagaimana tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam aturan tersebut, jasa pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tidak terkena PPN. Artinya, jika revisi UU KUP ini disetujui, jasa pendidikan akan menjadi objek pajak dan dikenakan PPN.
Ketua Umum Organisasi Kader Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB) Dodi Prasetya Azhari menilai bahwa rencana pemerintah tersebut sangat terkesan tidak memiliki empati terhadap kondisi rakyat sekarang ini.
“Di saat kondisi pandemi, banyak rakyat yang sedang kesulitan, kok pemerintah malah ingin mengenakan pajak ke produk atau jasa yang sebelumnya tidak dikenakan pajak. Apalagi ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Dodi Prasetya saat dihubungi melalui telepon, Rabu (16/6/2021).
Dodi Prasetya Azhari, seorang aktivis lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengatakan, pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya, termasuk penyediaan anggaran 20 persen.
“Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan,” tegasnya.
Jika PPN dikenakan pada dunia pendidikan dikhawatirkan biaya sekolah di Indonesia akan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat.
“Dampaknya akan semakin banyak anak-anak kita yang nantinya akan putus sekolah. Seharusnya pemerintah membuat program yang membantu mencerdaskan masyarakat. Wacana PPN jasa pendidikan ini sangat kontra produktif,” jelasnya.
Dia menambahkan, saat ini saja, tanpa pajak banyak sekolah yang sebenarnya sudah kesulitan dalam menyelenggarakan kegiatan operasionalnya.
“Ada di beberapa sekolah, dana BOS masih belum mencukupi untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang berkualitas. Guru honor banyak yang belum mendapat upah yang layak. Tak jarang, pungutanpun dibebankan pada orang tua siswa,” paparnya.
Menurut Dodi, seharusnya pemerintah mengoptimalkan pendapatan negara dengan menggali potensi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, 29, dan Pasal 23 untuk barang impor dan konsultan asing dalam pembangunan infrastruktur. Atau sumber pendanaan sektor-sektor lainnya. Misalnya, dengan menerapkan pajak progresif.
Padahal di sisi lain, Pemerintah selalu mendengungkan sense of crisis dalam menghadapi pandemi Covid-19 sejak awal 2020. Pembatasan di segala sektor diterapkan dengan alasan penanganan pandemi.
Saat ini rakyat Indonesia terpukul dengan wacana pengenaan PPN untuk bidang pendidikan dan sembako rakyat.
Dodi mengingatkan bahwa upaya membebaskan masyarakat dari virus Covid-19 bukan satu-satunya tujuan hidup saat ini. Masih ada lagi ujian hidup bagi rakyat, yakni selamat dari kesulitan ekonomi.
“Rakyat mungkin bisa lolos dari keganasan virus Corona, tapi pada jangan akhirnya posisikan mereka malah menjadi korban tekanan ekonomi,” tutup Dodi. (BJS/RED)