Oleh: Abi Rekso Panggalih (Penyuluh Rakyat Akal Sehat)
“Kebencian adalah satu-satunya komoditas politik yang paling dangkal dalam menjalin kepentingan. Selain berbiaya murah, pendekatan kebencian juga tanpa harga diri”
________ARP
Kepulangan Rieziq Shihab ke tanah air, bukan saja menambah jumlah positif paparan Covid19. Namun juga mempertebal kebencian di masyarakat.
Sejak awal menjelang kepulangannya, banyak pertanyaan siapa yang mengurus kebutuhan dirinya. Dalam banyak kesempatan, saya selalu katakan bahwa ada “orang kuat” di balik kepulangannya. Saat itu, ada dua jenis “orang kuat”. Orang kuat pertama; berbadan besar tanpa kumis. Orang kuat kedua; berbadan kecil dengan kumis.
Belakangan majalah GATRA menginvestigasi bahwa di balik kepulangan Rieziq Shihab ada pat-gulipat antara Jusuf Kalla dan Anies Baswedan. Barang kali ada benarnya. Namanya juga politik; coffee morning di Pejaten, lunch break di Cikeas, gala dinner tetap di Darmawangsa. Yang penting setiap aksi demonstrasi titik nol masih di Petamburan.
Bayangan Dharmawangsa di Balai Kota
Siapa menyangkal kedekatan Anies Baswedan dengan Jusuf Kalla. Sejak Anies Baswedan menjadi Rektor Paramadina dan Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum PMI, hubungan itu semakin intim. Bukan saja gedung Paramadina dan PMI yang berdekatan, barangkali visi dan misi kekuasaan juga sejalan antara Anies dan JK. Wajar-wajar saja, dalam politik pat-gulipat kepentingan sangat lumrah. Dalam hukum politik, jalinan kepentingan adalah sebuah konsekuensi logis.
Banyak juga orang mengerti dan paham, bahwa Jusuf Kalla adalah suksesor penentu kemenangan Anies Baswedan di DKI Jakarta melawan Basuki Tjahaya Poernama. Ini pun publik gampang memahami, Anies Baswedan Islam. Dan BTP bukan Islam.
Biar bagaimanapun banyak sekali dukungan finansial dan politik Jusuf Kalla kepada Anies Baswedan, yang mau tidak mau membangun komitmen bersama dalam imajinasi kekuasaan.
Jadi boleh disimpulkan metode kebencian yang digunakan oleh Anies Baswedan untuk memenangkan Gubernur Jakarta. Barangkali juga diketahui Jusuf Kalla. Belum tentu disetujui, tetapi mungkin didiamkan.
Dalam mazhab Machievellian apapun harus dilakukan sejauh hasilnya adalah kemenangan. Agak sedikit mirip dengan Pilkada Jakarta 2017.
Petamburan dan Pusat-pusat Kebencian
Jacques Rancière mengenalkan sebuah konsep diluar kebiasaan politik elit. Yakni, Politik Disensus. Adalah sebuah etimologi yang melihat basis kekuasaan justru diluar legitimasi formal.
Rancière melihat bahwa adakalanya politik disensus ditempuh bukan semata-mata mengganggu legitimasi politik formal. Melainkan ini satu cara dalam membangun komitmen atau tawaran politik dan bisnis baru, diluar yang sudah berjalan secara mapan.
Rieziq Shihab adalah satu contoh bidak politik, yang bekerja atas hasrat kepentingan sang tuan. Maka sebenernya kita tidak harus repot melihat tindak-tanduk Rieziq Shihab dalam membakar kebencian publik satu sama lain.
Rieziq Shihab adalah pusat kebencian yang memang dipanggungkan oleh orang kuat yang berkepentingan. Dalam Ernesto Laclau hal ini dikenal sebagai “political frontier”, sebuah pembelahan politik masyarakat yang berlangsung secara masif dan segregatif.
Saya rasa kita bukan semata-mata menghadapi politik identitas. Karena politik identitas dalam sebuah berproses negara adalah sebuah keniscayaan. Hanya saja ketika dosis dari politik identitas berlebihan, akan berkonsekuensi pada politik demarkasi. Pembelahan yang nyata dimulai dari merebaknya pusat-pusat kebencian baru.
Ini bukanlah hal yang mudah bagi kaum moderat. Karena jika terjadi kristalisasi atas nama kebencian. Agama hanya dijadikan alas kaki para perampok demokrasi yang menikmati pertikaian akbar dari politik segregatif.
Afirmasi Kebencian, Manipulasi Kesolehan
Dalam sebuah foto Anies Baswedan terlihat seakan membaca karya Steven Levitsky, bertajuk How To Democracy Die. Meskipun belum tentu Anies sejalan dengan pandangan tersebut, kita akan maknai sebagai simbol politik.
Dalam pernyataan singkat Jusuf Kalla menyatakan bahwa ada kekosongan kepemimpinan Indonesia. Sehingga, terjadi aksi-aksi protes yang dipimpin oleh FPI. Jusuf Kalla juga berpendapat bahwa, seharusnya FPI tidak perlu direspon berlebihan. Boleh jadi foto Anies Baswedan dengan buku Levitsky mengafirmasi pendapat Jusuf Kalla.
Politik identitas dengan dosis yang berlebihan akan memiliki standar ganda dalam menjalankan kepentingannya.
Lihat saja Anies Baswedan, satu sisi sebagai seorang Gubernur dia menekakan PSBB dan terlihat seakan pro pada konsep lock down. Namun, di saat kepulangan Rieziq Shihab dirinya turut serta dalam kerumunan orang tersebut.
Apa yang dinyatakan Jusuf Kalla juga menjadi sangat tidak relevan. Padahal demokrasi adalah arena, demokrasi bukan tujuan akhir.
Sebagai contoh, demokrasi pernah melahirkan pembunuh seperti Hitler di Jerman. Dalam konteks pilkada Jakarta 2017, politik kebencian mencapai singasana kekuasaannya. Karena demokrasi harus dipahami sebagai arena, bukan tujuan akhir.
Kolaborasi antara Rieziq Shihab dan Anies Baswedan adalah pasangan serasi dalam melakukan pembelahan secara efektif.
Satu sisi Rieziq Shihab terus memompa kebencian, dan pembelahan masyarakat. Di sisi lain Anies Baswedan menawarkan basa-basi solusi.
Mengutip pandangan Jusuf Kalla, bahwa ada masalah dalam demokrasi Indonesia. Bagi saya justru permasalahan itu ada pada Jusuf Kalla sendiri. Karena demokrasi tidak bisa diadili.
Bandung, 23 November 2020
Abi Rekso Panggalih
#RakyatAkalSehat