TANGERANGRAYA.NET, TANGSEL – Maraknya polling dukungan terhadap salahsatu Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) yang beredar di media online dan media massa menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dikhawatirkan akan berdampak pada pembentukan opini publik secara paksa.
Hal itu seperti dikatakan oleh Aktivis Muda Kota Tangsel, Dodi Prasetya Azhari, kepada Tangerangraya.net, Selasa, (23/6/2020).
Pria yang akrab disapa Dodi itupun mengungkapkan, sejak awal tahun 2020, traffic polling dukungan kepada bakal calon mulai ramai jagat maya. Dikatakan Dodi, Website pollingkita.com merupakan salah satu situs penyedia polling atau jajak pendapat dan survey.
“Polling jelang Pilkada Tangsel 2020 ini sebenarnya merupakan hal yang biasa saja untuk memantik partisipasi masyarakat, namun ada kekhawatiran hal ini akan berimbas kepada pembentukan opini publik secara paksa atau cenderung menghasilkan pemilih yang cenderung ikut-ikutan,” kata Dodi, Selasa, (23/6/2020).
Dodi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Organisasi Kepemudaan Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB) itupun mengatakan, disejumlah media sosial seperti group Facebook dan Whatsapp ada beberapa orang yang coba berperan menyebarkan juga hasil polling.
Menurut Dodi, hal itu untuk menunjukkan kuatnya dukungan publik terhadap calon yang dia dukung, tanpa mempertimbangkan bandwagon effect atau efek ikut-ikutan.
“Karena bila bandwagon effect ini dominan maka ada kekhawatiran hasil dari proses Pilkada Kota Tangsel ke depan bukanlah hasil yang baik atau yang dibutuhkan oleh masyarakat Tangsel itu sendiri” jelas Dodi.
“Hal itu bila disadari sangat mengancam kredibilitas Pilkada” tegas Dodi.
Karena itu, Dodi menjelaskan bahwa kebutuhan data survei bagi proses kandidasi, pada ujungnya adalah penyajian atas peta dukungan dan segmen pemilih yang lebih spesifik. Yaitu, bisa berdasarkan wilayah, gender, usia, kelas sosial ekonomi, agama, etnis, primordial, dan lain-lain. Termasuk, peta dukungan kandidat berdasarkan segmen pemilih partai. Dan Polling yang ramai beredar di media sosial saat ini sangat tidak merepresentasi kebutuhan atas data survey sebenarnya.
“Polling di media sosial sangat tidak mencerminkan proporsional pemilih. Sebab, tidak mewakili distribusi pemilih di Kota Tangsel,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Dodi menjelaskan, polling dengan cara seperti itu juga tidak mempresentasikan berdasarkan jenis kelamin dan usia masyarakat.
“Polling di media sosial tidak mewakili populasi masyarakat kota Tangsel. Sebab tidak teridentifikasinya usia, KTP dan jenis kelamin, dan pemilik akun tidak bisa di jamin 100 persen pemilih Kota Tangsel,” tuturnya.
“Para kandidat atau tim yang menjadi subyek polling cenderung menggerakkan dan membagikan link polling di media sosial ke orang-orang yang pasti mendukungnya. Sehingga bisa terlihat yang unggul adalah yang paling rajin membagikan link tersebut,” tambahnya.
Meski hasilnya menunjukkan banyak ketidaktepatan, menurut Dodi, jajak pendapat tetap diperlukan. Bahkan, setiap pasangan calon kepala daerah dinilai wajib memiliki hasil jajak pendapat, namun hasilnya hanya untuk kebutuhan internal.
“Akan tetapi, hasilnya hanya untuk kebutuhan internal, memperkuat kinerja tim sukses, bukan untuk dibagikan ke publik demi mempengaruhi pemilih dan suara,” tandas Dodi.