TUTUP IKLAN
Opini

Nasib Taman Kota Dua yang Terbengkalai

121
×

Nasib Taman Kota Dua yang Terbengkalai

Sebarkan artikel ini

Artikel ini ditulis oleh Budayawan Uten Sutendy.

Ketika pembangunan Gelanggang Budaya di Taman Kota Dua beberapa tahun lalu sempat mangkrak, kawan-kawan seniman Tangsel bersuara lantang, bagaimana mungkin sebuah proyek bangunan untuk panggung para seniman itu bisa mangkrak. Ada demonstrasi beberapa kali soal ini. Saya pun ikut komentar dan menulis di media lokal.

BERITA INI DI SUPPORT OLEH

Saya katakan waktu itu sungguh miris dan keterlaluan jika panggung untuk pementasan seni budaya bisa dikorupsi. Sekedar tahu saja bahwa aspek seni dan budaya itu hal yang sakral bagi sebuah kota yang ingin maju.

Akhirnya setelah ada kucuran dana baru (APBD) gelanggang budaya itu jadi juga berdiri. Tapi rumah kayu di atas pohon yang ada tepat di sebelahnya malah hancur berantakan sebelum difungsikan, karena tak terawat.

Maka, bangunan gelanggang budaya yang sudah berdiri menjadi harapan baru bagi para seniman Tangsel terutama yang ada di bawah naungan DKTS (dewan kesenian Tangerang Selatan).

Saya melihat sahabat Shobier Poor yang waktu itu ketua DKTS sibuk memanfaatkan gedung tersebut dengan menyelenggarakan sejumlah event pementasan: ada baca puisi. pameran lukisan dll. Bahkan tersirat keinginan di kalangan pengurus DKTS untuk memanfaatkan fasilitas gedung di sana sebagai basecamp para seniman Tangsel kalau perlu sekretariat DKTS juga ada di sana.

Saya termasuk yang mensuport semangat sahabat Shoobier dkk dengan harapan agar di Tangsel ada area yang bisa menjadi pusat kreatifitas seni dari teman-teman seniman dan budayawan.

Oleh karena itu, berkembanglah pemikiran, gagasan, konsep untuk menjadikan area Taman Kota Dua bukan hanya sekedar jadi pusat berkesenian melainkan juga sekaligus menjadi “pasar” bagi produk-produk seni yang tumbuh di kota ini.

Mimpi saya dan teman teman seniman demikian melambung tinggi waktu itu. Membayangkan Taman Kota Dua menjadi “icon” baru kota yang bisa menjadi daya tarik bagi para pelancong dan wisatawan dari luar kota. Di sana ada taman bunga-bunga hias, danau yang bersih dan air sungai yang airnya bergemuruh mengalir jernih.

Ada banyak orang datang ke tempat itu untuk melihat dan menikmati aneka produk lukisan, patung, souvenir karya para seniman Tangsel sambil menikmati sajian kuliner khas Tangsel yang gerai gerainya tertata rapih dan artistik. Ada juga resto yang bagus di atas danau.

Dan jadwal kegiatan seni cukup padat selama satu pekan atau satu bulan. Ada pementasan wayang, musik, drama, pemutaran film, pembacaan puisi, pentas tari, dongeng, pameran lukisan dan patung. Semua acara terjadwal rapih. Para seniman dan budayawan rajin nongkrong ngopi di sana ada gagasan dan lomba karya baru.

Semua kegiatan dikelola oleh sebuah manajemen bersama lintas dinas dan komunitas dengan merekrut SDM profesional yang ditunjuk oleh SK walikota.

Pengunjung yang datang dikenakan tiket masuk. Dari pemasukan tiket itu untuk tambahan PAD dan biaya operasional pengelola profesional. Sementara dana APBD hanya untuk pemeliharaan, kebersihan, dan pengembangan area.

Mimpi itu cukup sering saya sampaikan ke pihak Bapeda, dinas pariwisata bahkan ke walikota. Semua mengiyakan dan berharap gagasan itu bisa terealisasi.

Ketiadaan atau kedangkalan tentang pemahaman soal pentingnya karya seni budaya bagi sebuah kota serta hilangnya fokus pada program seni dan budaya dari pemerintah kota akhirny memabuat wajah Taman Kota Dua jadi amburadul. Koordinasi antar dinas kacau. Dinas PU, Pariwisata, DLH, Dikbud, kesannya saling klaim merasa lebih berhak “memiliki” yang ujungnya saling andalkan dan akhirnya tiada langkah kongkrit untuk mengisi area Taman Kota Dua pasca seluruh pembangunan dianggap selesai.

Saat terjadi kekosongan manajemen di sana, masuklah sejumlah oknum lingkungan dan ormas untuk “menguasai” lahan tersebut dengan caranya masing-masing.

Saat ini Taman Kota Dua sungguh ramai dengan aneka pedagang, warung remang-remang (ada karoeke dan lampu kelap kelip), komedi putar, odong-odong, dangdutan. Padat dengan gerobak tua dan terpal plastik lapuk yang menaungi aneka makanan pasar. Letaknya berhimpitan tak teratur diantara suara bising musik dangdut dan lagu pop yang terdengar saling bersahutan dari pojok pojok taman.

Gelanggang Budaya yang awalnya diharapkan jadi kebanggaan seniman dan warga kota, kini terlihat kumuh. Dinding temboknya terlihat lapuk dan di dalam ruangan berserakan puntung puntung rokok.

Ya taman itu kini ramai sekali bak sebuah pojok pasar di Ciputat, tapi sangat sepi dengan warna taman dan karya seni.

Beberapa hari lalu saat datang ke sana untuk sekedar iseng jalan jalan sore, saya bertanya kepada orang orang yang lalu-lalang, siapakah kini yang bertanggung mengelola area Taman Kota Dua? Adakah pihak Pemkot datang ke tempat dimana proyek ratusan miliar pernah dikucurkan di sana?!

Semua merespon dengan menggeleng kepala tanda tak tahu seolah Taman Kota Dua kini benar benar tanpa tuan.

[***]