TANGERANGRAYA.NET, Tangerang Selatan – Rumah kediaman keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Tangerang Selatan Farina Arsyad disita oleh pihak ketiga rekanan Bank Tabungan Negara (BTN) karena mengalami kesulitan cicilan pinjaman. PNS di DPRD Tangsel kini berusaha mempertahankan rumah itu di Perumahan Amarapura, Setu Kota Tangsel.
Siswoyo, SH, pengacara yang menangani kasus ini mengatakan, pihak bank yakni Bank Tabungan Negara (BTN) melalui pihak ketiga malah menyewa jasa debt collector dan melancarkan aksi intimidasi agar keluarga Farina mengosongkan rumah.
“BTN diduga membocorkan data nasabah ke pihak ketiga, dan menggunakan tenaga debt collector, serta cara-cara yang intimidatif dan tidak profesional. Yakni, untuk mengosongkan rumah nasabah, yang sedang kesulitan dalam membayar cicilan pinjaman mereka,” katanya, Rabu (14/12/2022) .
Siswoyo bercerita, pada bulan Oktober ada sekitar 10 debt Collector yang diketahui dari PT. Sementa Mega Alam berlokasi di ruko Duta Indah Sentoha Blok B No.31 Kelurahan Priuk Kota Tangerang, memaksa Farina dan keluarganya untuk menyerahkan kunci dan mengosongkan rumah. Alasannya, gagal membayar utang sampai melewati batas waktu yang dijanjikan.
“Debt collector yang mengaku bernama Ardiansyah lempar surat somasi ke halaman untuk mengosongkan rumah,” ujarnya.
Menurut Siswoyo, keluarga Farina menolak pengosongan, karena merasa tindakan itu dilakukan lewat tekanan, sangat memberatkan dan dirasa tidak manusiawi.
Lanjut, Siswoyo, keluarga Farina juga tidak ada tempat lain untuk bernaung. Karena keluarga bu farina menolak mengosongkan rumah, pada bulan Nopember debt collector beraksi lagi mengirim surat somasi kedua.
“Dari bulan Oktober dan Nopember debt collector mengirim surat somasi,” ungkapnya.
Siswoyo menuturkan, tepat pada tanggal 7 Desember debt collector langsung mengeksekusi rumah bu farina. Ketika itu bu Farina tidak berada di rumah, mereka tanpa izin debt collector langsung mengeksekusi rumah bu farina.
“Debt collector dari PT. Sementa Mega Alam ini langsung mengeksekusi rumah bu farina tanpa seizin pemilik rumah,” pungkasnya.
Menurut Siswoyo, kasus ini berawal dari pinjaman dana sebesar Rp 105 juta dari BTN Cabang BSD pada 2013. Saat itu, rumah di Amartapura itu dijadikan jaminan. Pada awalnya pembayaran cicilan berjalan lancar, tetapi lalu macet, antara lain karena kondisi pandemi Covid-19.
Sejak itulah, kata Siswoyo, kerap terjadi aksi intimidasi.
“Kejadiannya sejak beberapa bulan lalu. Namun mereka tidak pernah menunjukkan dokumen-dokumen bukti kerja sama itu,” katanya.
Selain itu, pihak BTN juga tak pernah mengirim surat pemberitahuan pada keluarga Farina bahwa BTN telah mengalihkan penagihan pada pihak ketiga. Tapi faktanya PT. Sementa Mega Alam memiliki data keuangan dan cicilan pinjaman bu Farina.
“Pihak BTN ini tidak memberitahukan ke klien kami perihal pengalihan penagihan kepihak ketiga. Ini artinya kerahasiaan data nasabah sudah dibocorkan oleh BTN,” katanya.
Siswoyo menjelaskan, keluarganya memprotes keras cara-cara intimidatif yang tidak manusiawi, tanpa empati, dan tidak mau tahu kesulitan nasabah di tengah kondisi kesulitan ekonomi saat ini. Cara-cara tak profesional itu dilakukan oleh debt collector.
“Klien kami memprotes keras cara-cara intimidasi ini. Ini duga perampokan secara sistematis. Kita akan gugat pihak BTN dan pihak PT. Sementa Mega Alam,” tegasnya. (STW | RED)