Nasional – Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN) melaporkan hakim konsitusi Saldi Isra ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Mereka melaporkan tindakan Saldi Isra saat sidang Mahkamah Kontitusi terkait uji materi Undang-undang Pemilu, yakni batas umur calon presiden dan wakil presiden.
Saat itu Isra menyebarkan informasi subyektif menyudutkan hakim Konsitusi lain.
Ketua Umum ARUN, Bob Hasan mengatakan, sebagai hakim konstitusi, seharusnya yang disampaikan Saldi Isra adalah argumentasi yang ilmiah berdasarkan logika hukum. Tetapi yang disampaikan Saldi adalah opini subyektif, tendensius dan cenderung fitnah.
“Di dalam memberikan pertimbangan, sejatinya Majelis Hakim MK yang terdiri dari 9 orang, memberikan pertimbangan yang didasarkan pada pokok perkara,” kata Bob di Gedung MK, Jakarta.
Dalam etikanya atas pertimbangan masing-masing, sambung Bob, Hakim MK harus mengutarakan dengan hak-nya yakni sebagai ‘heurmenetika’ yang didalamnya terdapat kajian-kajian yang dimasukan dalam pertimbangannya.
“Maka ‘dissenting opinion’ tersebut wajib berisikan tentang pikiran dan nurani hakim kembali atas obyek sengketa,” sambungnya, Kamis, (19/10/2023).
Sebaliknya, lanjut Bob, pernyataan Saldi yang telah menggunakan teori, satu mati maka harus mati semua. Hal ini merupakan pencorengan terhadap keluhuran yang agung atas MK.
Berdasarkan latar belakang pribadi Saldi Isra, ARUN juga mempertanyakan integritasnya karena pernah ikut membuat putusan yang menguntungkan dirinya sendiri dalam perkara di MK.
Perkara tersebut adalah uji materi Undang-undang Mahkamah Konstitusi Nomor 7 tahun 2020 terkait pasal yang menguntungkan dirinya yang semula hanya menjabat dua periode atau selama 10 tahun menjadi bisa men jabat sebagai 15 tahun.
“Kami berharap orang seperti Saldi yang secara terang-terangan mencoreng nama baik MK harus diberhentikan sebagai hakim MK,” tandas Bob.
Sebelumnya, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengungkap putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berubah ketika Ketua MK Anwar Usman ikut terlibat dalam rapat permusyawaratan hakim.
Dalam putusan itu, MK pada pokoknya mengabulkan syarat batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah.
Mulanya, Saldi mengatakan terdapat belasan permohonan untuk menguji syarat usia capres-cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang pertama. Saldi mengatakan hanya perkara gelombang pertama ini yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan Presiden dan DPR, keterangan pihak terkait, ahli pemohon, dan juga ahli pihak terkait.
Laporan: Nanda