#OmnibusLawuntukUMKM
Oleh: Abi Rekso Panggalih
Ternyata UU Cipta Kerja yang selama ini menjadi ujung dari demonstrasi di jalan berjilid-jilid, bukan saja berkaitan dengan hak-hak pekerja. Protes dan perdebatan di kancah akademik terkait UU Cipta Kerja memang memuncak pada urusan hak pekerja. Meskipun begitu, isu serta kebijakan lain yang turut serta melingdungi hak-hak UMKM tidak turut serta menjadi pembahasan publik.
Baik, kali ini saya ingin berbagi pikiran kepada pembaca yang baik terkait dengan isu penguatan UMKM. Kali ini kita coba dengan pikiran-pikiran yang ringan namun masuk akal dalam keseharian kita. Saya awali dengan niat dan harapan Omnibus Law dalam tata hukum kebijakan perundang-undangan kita. Sebagaimana banyak penjelasan para ahli bahwa Omnibus Law adalah sebuah metode perundang-undangan. Karena, sejak lama kita memang mengalami banyak tumpang tindih dalam kebijakan, maka metode Omnibus Law digunakan dalam rangka penyelarasan. Secara prinsip, Omnibus Law tidak merubah spirit dasar dari UU terkait. Hanya saja kemudia satu-dua pasal harus dihapus dan dirubah untuk penyelarasan.
Nah, tiba-tiba kita menghadapi situasi yang sangat buruk untuk iklim ekonomi, yakni pandemi covid19. Maka dengan latar kondisi tersebut, pemerintah ada urgensi untuk mempercepat pengesahan UU Cipta Kerja.
Krisi itu berdampak dengan pengurangan tenaga kerja baik di semua sektor industry dan jasa. Usaha kita dari yang besar, menengah, bahkan kecil terpukul secara langsung dengan kontraksi ekonomi global. Otomatis berdampak banyaknya angka pengangguran, setidaknya pemerintah mencatat angka pengangguran terbuka sebesar 3,7 juta selama pandemi. Tentu, faktanya bisa akan lebih besar karena banyak sektor ekonomi informal yang tenggelam sejak awal terjadinya kontraksi ekonomi.
Kita yakini 3,7 juta jiwa itu adalah masalah nyata potensi pengangguran terbuka. Pertanyaanya kemudian, bagaimana mengembalikan mereka dalam posisi bekerja? Di tengah banyak investor yang menarik modalnya dari tanah air dan berdampak pada tutupnya banyak pabrik-pabrik yang selama ini menjadi tempat mereka bekerja. Mau menuntu pemerintah? Kita juga perlu adil, karena pemerintah sedang melakukan antisipasi terhadap penyebaran virus. Meskipun begitu, pemerintah sudah melakukan banyak bantuan langsung tunai kepada masyarakat rentan.
Lantas ujungnya masyarakat juga tidak bisa hanya berpangku tangan pada bantuan pemerintah yang belum tentu bisa memenuhi semua kebutuhan yang ada. Masyarakat juga harus bekerja dengan cara-cara yang lebih kreatif dan mandiri. Pengangguran yang ada bukanlah angkatan kerja yang tanpa keahlian dan pengalaman. Mereka adalah pekerja yang selama ini juga memiliki keahlian yang bisa sebagai modal untuk bergerak secara mandiri.
Atas dasar kondisi demografis itulah, maka pemerintah bersikeras dan fokus pada urusan penguatan UMKM. Karena ini adalah sektor ekonomi yang elementer untuk memutarkan dan mengalirkan ekonomi dalam tataran masyarakat menengah ke bawah.
Maka UMKM menjadi jurus sekaligus ujung tombak dalam membentengi ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Sebagaimana dalam pidato Presiden Jokowi beberapa waktu lalu memebrikan garansi bahwa bagi usaha UMKM akan dijamin sertifikasi halalnya.
Dalam sektor energi ketenagalistrikan misalnya. Perubahan dari UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; pada pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa koperasi dan swadaya masyarakat bisa terlibat dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
Juga sektor industri juga ada keberpihakan dalam UMKM. Perubahan dalam UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindutrian; pada pasal 106 ayat 1 jelas dikatakan bahwa industri kecil dan menengah tidak harus berkegiatan produksi di area khusus industri. Artinya industri rumahan tidak akan dilakukan relokasi sebagaimana banyak informasi yang berseliweran.
Tidak luput sektor pariwisata yang berpihak pada UMKM. Perubahan dalam UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan; pada pasal 26 ayat 1 huruf (f) secara jelas amanat undang-undang mewajibkan kepada pengusaha pariwisata skala besar untuk melibatkan masyarakat dan koperasi setempat dalam pengelolaan kawasan pariwisata. Itu tandanya tidak boleh ada privatisasi apalagi monopoli kawasan wisata. UMKM pariwisata juga dimungkinkan untuk mengambil peluang dari kue ekonomi pariwisata.
Setidaknya ini menjadi ulasan singkat mengapa kita juga harus adil sejak dalam pikiran dalam memperlakukan UU Cipta Kerja. Tentu ini masih jauh dari sempurna, karena memang tidak akan ada kebijakan yang betul-betul sempurna. Lebih-lebih akan menyenangkan semua pihak. Setidaknya kita perlu kembali berfikir ulang untuk selalu mengecam dari UU Cipta Kerja. Bahwa ternyata, undang-undang ini tidak saja membahas terkait dengan hak pekerja. Namun lebih jauh, undang-undang ini juga tetap memperjuangkan spirit usaha mikri kecil dan menengah. Semoga ulasan ini bisa menjadi referensi dalam rangka menjaga akal sehat kita.
Salam Rakyat Akal Sehat!!
Abi Rekso Panggalih (Penyuluh #RakyatAkalSehat)
Bandung, 13 Oktober 2020