Artikel ini ditulis oleh Budayawan Uten Sutendy
Marshel Widianto, nama komedian ini kian populer setelah muncul sebagai Bakal Calon Walikota Tangerang Selatan yang diusung oleh Partai Gerindra. Hampir setiap hari wajahnya wara-wiri di medsos dengan segala warna aktivitasnya di tengah-tengah warga kota Tangsel. Mengunjungi rumah- rumah warga di pinggiran kota, masuk gang-gang sempit sambil menyalami setiap orang yang dijumpai dengan wajah ceria dan tubuh membungkuk.
Ia terus bergerak tanpa beban mendatangi warga kota satu persatu. Ngobrol, ketawa-ketiwi, cengengesan, bercanda dan bertanya apa yang jadi masalah warga serta apa pula harapan warga kota ke depan. Seolah ia tak peduli dengan kritikan dan bulian teman-teman artis dan nitizen yang beberapa waktu lalu kerap muncul di medsos.
Sejumlah rekan-rekan artis menganggap Marshel tidak pantas jadi calon Wakil Walikota Tangsel. “Ini Gerindra atau warga Tangsel yang bodoh, kok bisa majuin orang seperti Marshel,” kata komedian Pandji Pragiwaksono suatu hari. “Marshel bisa apa Luh..!” kata Nikita Mirzani. “Terlalu cengengesan dan urakan,” kata salah seorang nitizen.
Sebagian warga kota Tangsel pun ikut bereaksi saat wajah Marshel nongol di baliho ukuran besar di tengah kota dengan tulisan “Calon Wakil Walikota.”
“Ini apa-apaan Gerindra. Bercanda ya…!,” kata salah seorang warga. “Ah paling itu gimick doang. Masa orang kaya Marshel dijadiin calon wakil walikota, yang benar aja. Emang orang Tangsel bodoh semua..!” ujar salah seorang politisi Tangsel.
Tapi Marshel terus bekerja, menampilkan cara kerja politik yang sama sekali berbeda dengan umumnya para politisi. Kehadirannya yang jenaka, unik, dan rada awut-awutan (penampilan yang gak rapih), jauh dari kesan formal dan seremonial, malah seperti memecah kebekuan politik.
Dimana-mana anak-anak muda dan warga kota membicarakan Marshel. Di warung kopi, cafe, di balai warga, dan di medsos. Yang banyak diobrolin tentu saja soal pro-kontra penampilan Marshel yang dianggap tidak lazim sebagai bakal calon pejabat publik.
Gerindra sebagai partai yang mencalonkan Marshel terlihat cukup cerdas membaca peluang. Diterjunkanlah Marshel biar jadi fokus pembicaraan, gunjingan, bulian, bahkan hinaan.
Gerindra secara tidak langsung ingin memberi pesan kepada publik bahwa politik itu tidak harus identik dengan seragam formal dan seremonial. Politik itu harus ada bercanda, gembira.
Marshel yang hadir di tengah rakyat, bersalaman, bercanda, dan menyapa warga secara langsung sambil bergurau, merupakan pendekatan yang ternyata jauh lebih menarik perhatian publik. Buktinya Marshel selalu viral dan jadi pusat pembicaraan
Terlepas pro kontra mengenai pribadi Marshel, Gerindra ingin mengatakan kerja politik itu kudu membumi, menyentuh hati rakyat, dan bisa mendobrak tradisi politik formalitas yang sudah lama berkembang di Tangsel, Banten, dan di hampir seluruh daerah di tanah air.
Apakah strategi yang dimainkan Gerindra cukup efektif bisa membawa kemenangan?
Itu soal lain. Soal menang dan kalah itu hal biasa. Politik itu sebuah game, permainan. Nah. yang sedang dimainkan Gerindra adalah permainan politik gembira. Ini cocok untuk pasar anak -anak muda Gen-Z yang rada phobia dengan gaya politik kaku dan formal seperti yang ditampilkan oleh lawan politiknya, yakni pasangan Ben-Pilar (Benyamin Davnie -Pilar Saga Ichsan).
Jika pasangan Ben-Pilar tak bisa mengantisipasi gerakan politik gembira yang dimainkan Marshel, bukan mustahil bisa tergulung juga.
Ben-Pilar boleh dibilang merupakan simbol gaya politik formalitas dan elitis. Banyak mengandalkan pencitraan, kekuasaan, tentu saja selain kerja keras. Itu wajar. Bang Ben, begitu panggilan akrab Benyamin Davnie, adalah seorang birokrat murni yang sudah terbiasa dengan cara kerja politik resmi. Begitu juga Pilar Saga Ichsan yang lahir dari keluarga dinasti politik dan bisnis kesohor di Banten. Sudah pasti terbiasa hidup teratur dan formal.
Lalu, mana yang akan unggul, cara kerja politik gembira atau cara kerja politik formal di dalam musim pilkada ini? Kita lihat saja nanti.
Yang jelas tanda -tanda zaman mengisyaratkan bahwa rakyat merindukan para elite melakukan praktik politik yang lebih merakyat. Dunia politik sedang menuju ke akar rumput. Pendekatan politik yang dilakukan secara formal dan kaku mungkin ke depan sudah sulit diandalkan lagi, tidak relevan lagi.
Kehadiran Marshel, like and dislike, adakah bentuk mindset baru dalam berpolitik. Marshel bukan berasal dari dinasti bisnis atau politik melainkan berasal dari rakyat biasa yang dengan kenekadannya ternyata bisa juga muncul menantang dominasi politik bermindset lama.
Meskipun popularitas dan elektabilitas Ben -Pilar hingga kini cukup tinggi (30-35 persen) belum tentu jadi jaminan bisa unggul di akhir pertarungan.
Dalam era politik dengan mindset baru (non formal) memungkinkan hasil survei dan tingginya popularitas tak bisa menjadi modal utama bagi kemenangan di akhir. Apalagi jika popularitas itu dibangun di atas pencitraan, transaksional, dan kekuasaan.
Kerja politik dengan mindset baru menekankan bahwa politik adalah alat untuk membangun negeri dan daerah, bukan sekadar menyediakan kursi-kursi nyaman bagi para penguasa. Itulah harapan besar rakyat di masa depan.
Memang dalam dunia politik, kekuasaan itu harus direbut. Tapi merebut kekuasaan juga harus berdasarkan nilai-nilai luhur. Jika tidak, praktek rebutan kekuasaan yang cenderung mengorbankan banyak kepentingan orang akan menjadi tidak bermakna malah sia-sia.
Sudah saatnya semua pihak memakai kacamata baru dalam melihat realitas politik dan menjalankan kerja -kerja politik. Sebab, pendekatan politik formalitas yang kaku sedang dan sudah berada di ambang batas usianya.
[***]